Jika kita hendak mengambil kredit di bank, kita mengenal adanya istilah DBR atau debt burden ratio. Yaitu ratio seluruh cicilan terhadap pendapatan bersih atau take home pay (THP). Istilah DBR juga dikenal dengan IIR atau Installment to Income Ratio, atau Payment to Income (PTI) ratio.
Besaran persentase DBR tergantung kebijakan masing-masing Bank,
umumnya 33,3% s.d. 40% THP. Pada dasarnya ada dua metode perhitungan
DBR. jika sebelumnya calon debitur telah memiliki cicilan (kendaraan,
rumah , atau bahkan cicilan kartu kredit):
Pertama; DBR sepenuhnya dihitung dari pendapatan bersih (THP = take home pay). Artinya jumlah seluruh cicilan tak boleh lebih dari persentase DBR yang telah ditentukan misalnya 40%. Bank-bank yang menggunakan metode ini misalnya Bank Danamon dan Bukopin.
Kedua; DBR cicilan kedua dihitung dari THP – cicilan pertama, artinya yang menjadi dasar perhitungan DBR adalah THP yang telah dikurangi cicilan. Dengan metode ini sebenarnya total DBR bisa lebih dari caps yang ditentukan tadi (misalnya 40%). Nah, contoh bank yang menggunakan metode ini adalah Bank Niaga.
Untuk mempermudah pemahaman, kita ambil ilustrasi sebagai berikut;
Andre agaasa dan Victoria menikah dan memiliki total take home pay atau THP sebesar 10 juta rupiah. Beliau hendak mengajukan KPR. Pada saat yang bersamaan, sebelumnya andre telah mencicil mobil mereka dengan cicilan 2 juta rupiah. Dengan asumsi bahwa DBR yang berlaku adalah 40% dari THP, maka andre akan memiliki dua kemungkinan besaran cicilan berdasarkan dua perhitungan di atas:
Dengan menggunakan metode pertama, andre hanya punya peluang mencicil KPR maksimal 2 juta rupiah sebulan. Angka ini didapat dari : 40% X 10 juta = 4 juta. Karena sudah ada cicilan mobil 2 juta rupiah, maka ia hanya bisa menambah 2 juta lagi.
Dengan menggunakan metode kedua, andre memiliki peluang lebih besar, yakni:
(10 juta – 2 juta) X 40% = 3,2 juta rupiah.
Jika kita ambil asumsi suku bunga yang berlaku 10% efektif dan tenor 15 tahun, maka dengan metode pertama andre hanya berhak mendapat kredit maksimal 185 juta (cicilan sekitar 1,99 juta). Sedangkan jika menggunakan metode kedua Beckham bisa mendapat plafon hingga 295 juta rupiah (dengan cicilan 3,17 juta).
Pertama; DBR sepenuhnya dihitung dari pendapatan bersih (THP = take home pay). Artinya jumlah seluruh cicilan tak boleh lebih dari persentase DBR yang telah ditentukan misalnya 40%. Bank-bank yang menggunakan metode ini misalnya Bank Danamon dan Bukopin.
Kedua; DBR cicilan kedua dihitung dari THP – cicilan pertama, artinya yang menjadi dasar perhitungan DBR adalah THP yang telah dikurangi cicilan. Dengan metode ini sebenarnya total DBR bisa lebih dari caps yang ditentukan tadi (misalnya 40%). Nah, contoh bank yang menggunakan metode ini adalah Bank Niaga.
Untuk mempermudah pemahaman, kita ambil ilustrasi sebagai berikut;
Andre agaasa dan Victoria menikah dan memiliki total take home pay atau THP sebesar 10 juta rupiah. Beliau hendak mengajukan KPR. Pada saat yang bersamaan, sebelumnya andre telah mencicil mobil mereka dengan cicilan 2 juta rupiah. Dengan asumsi bahwa DBR yang berlaku adalah 40% dari THP, maka andre akan memiliki dua kemungkinan besaran cicilan berdasarkan dua perhitungan di atas:
Dengan menggunakan metode pertama, andre hanya punya peluang mencicil KPR maksimal 2 juta rupiah sebulan. Angka ini didapat dari : 40% X 10 juta = 4 juta. Karena sudah ada cicilan mobil 2 juta rupiah, maka ia hanya bisa menambah 2 juta lagi.
Dengan menggunakan metode kedua, andre memiliki peluang lebih besar, yakni:
(10 juta – 2 juta) X 40% = 3,2 juta rupiah.
Jika kita ambil asumsi suku bunga yang berlaku 10% efektif dan tenor 15 tahun, maka dengan metode pertama andre hanya berhak mendapat kredit maksimal 185 juta (cicilan sekitar 1,99 juta). Sedangkan jika menggunakan metode kedua Beckham bisa mendapat plafon hingga 295 juta rupiah (dengan cicilan 3,17 juta).
Thanks for reading & sharing BLOG FANS
0 komentar:
Post a Comment
terimaksih sudah berkunjung
jangan bosen-bosen ya gan mampir kesini..!!
maservin19.blogspot.com